putubayong.blogspot.com

Rabu, 20 November 2013

“SOSIAL BUDAYA BAHARI LUWU TIMUR”
logo-unhas.jpg
 







                                                                 


Disusun oleh :
PUTU EKA IRAWAN
G111 13 513
KELOMPOK : 4

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013


BAB I
PENDAHULUAN
I.1        Latar Belakang
Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Malili adalah ibu kota dari Kabupaten Luwu Timur yang terletak di ujung utara Teluk Bone. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2. Kabupaten ini terdiri atas 11 Kecamatan yakni Kecamatan Malili, kecamatan Angkona, Tomoni, Tomoni Timur, Kalena, Towuti, Nuha, Wasponda, Wotu, Burau dan Mangkutana. Di kabupaten ini terletak Sorowako, tambang nikel yang dikelola oleh INCO, sebuah perusahaan Kanada yang kini berubah nama menjadi PT Vale . Pada tahun 2008, Pendapatan Asli Daerahnya berjumlah Rp. 38,190 miliar.[2] Pendapatan per kapita masyarakat Luwu Timur pada tahun 2005 adalah Rp. 24,274 juta.[3]
Kabupaten Luwu Timur merupakan Kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan yang berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Tengah di sebelah Utara. Sedangkan di sebelah Selatan berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Tenggara dan Teluk Bone. Sementara itu, batas sebelah Barat merupakan Kabupaten Luwu Utara.Kabupaten Luwu Timur yang beribukota di Malili, secara administrasi dibagi menjadi 11 kecamatan yaitu
  • Kecamatan Burau
  • Kecamatan Wotu (Regional Pelayanan Kesehatan)
  • Kecamatan Tomoni
  • Kecamatan Tomoni Timur (Regional Pertanian)
  • Kecamatan Angkona
  • Kecamatan Malili (Regional Administratif)
  • Kecamatan Towuti
  • Kecamatan Nuha (Regional Pertambangan)
  • Kecamatan Wasuponda
  • Kecamatan Mangkutana (Regional Perdagangan) dan kalena
Di Kabupaten Luwu Timur terdapat 14 sungai. Sungai terpanjang adalah Sungai Kalaena dengan panjang 85 km. Sungai tersebut melintas di Kecamatan Mangkutana. Sedangkan sungai terpendek adalah Sungai Bambalu dengan panjang 15 km.
Selain itu, di Kabupaten Luwu Timur juga terdapat lima danau. Kelima danau tersebut antara lain danau Matano (dengan luas 245.70 km2), Danau Mahalona (25 km2), dan Danau Towuti (585 km2), Danau Tarapang Masapi (2.43 km2) dan Danau Lontoa (1.71 km2). Danau Matano terletak di Kecamatan Nuha sedangkan keempat danau lainnya terletak di Kecamatan Towuti.
Kabupaten Luwu Timur merupakan wilayah yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Selama tahun 2011, tercatat rata-rata curah hujan mencapai 258 mm, dengan rata-rata jumlah hari hujan per bulan mencapai 17 hari. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember, yakni 393 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 23 hari.
I.2     Rumusan Masalah
Untuk mengkaji dan mengulas tentang sistem sosial budaya masyarakat Luwu Timur diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.        Bagaimana keadaan sosial-budaya masyarakat di Luwu Timur ?
2.        Bagaimana sistem mata pencaharian masyarakat  Luwu Timur?
3.        Apakah masalah yang dihadapi masyarakat Luwu Timur?

1.3       Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas MKU Wawasan Sosial Budaya Maritim dan menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan masalah.
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca tentang sistem sosial budaya dalam masyarakat Luwu Timur
BAB II
 PEMBAHASAN
2.1       Keadaan Sosial-Budaya Masyarakat Luwu Timur
Luwu Timur merupakan salah satu kabupaten yang baru dibentuk di sulawesi selatan. Luwu Timur merupakan pemekaran dari kabupaten luwu utara. Di luwu timur terdapat beragam suku bangsa karena luwu timur merupakan daerah transmigrasi oleh karena itu di luwu timur terdapat beragam suku bangsa mulai dari suku bugis, luwu, toraja, bali, jawa, pamona,dan masih banyak lagi akan tetapi toleransi antar suku di luwu timur sangat baik dan tidak ada pembedaan yang mencolok antara auku satu dengan suku yang lain.
            Di daerah pesisir pantai luwu timur kebanyakan suku bugis yang bertempat tinggal, karena kita ketahui bahwa suku bugis merupakan suku dimana masyarakatnya banyak bergelut atau memiliki mata pencaharian sebagai nelayan oleh karena itu sebagian besar masyarakatnya bertempat tinggal di daerah pesisir. Di kecamatan wotu yang didiami oleh suku bugis disana terdapat pelabuhan kapal. Sebagian masyarakat disana bekerja sebagai nelayan dan tambak ikan.Suku bugis yang terkenal akan budayanya yang kental mereka mempercayai adanya hari-hari baik untuk pergi berlayar kepantai            oleh karena itu adat sosial budayanya masih dijunjung tinggi oleh masyarakat disana.
            Selain itu di luwu timur adat suku balinya masih sangat kental walaupun masyarakat bali tidak banyak yang bertempat tinggal didaerah pesisir dan bermata pencaharian sebagai nelayan akan tetapi suku bali mengenal namanya tri hitakarena artinya tiga hubungan harmonis yang harus dijaga diantaranya yaitu menjaga hubungan baik dengan Tuhan, menjaga hubungan baik dengan alam, menjaga hubungan harmonis dengan sesama manusia. Salah satu cara mengaplikasikan hubungan harmonis terhadap alam yaitu menjaga lingkungan alam kita selain itu masyarakat bali di luwu timur melakukan upacara keagamaan yaitu melasti yang merupakan upacara penyucian alam yang dilakaukan dilaut atau pantai sebagai wujud terima kasih terhadap Tuhan.
            Kepadatan penduduk tahun 2009 di Luwu Timur masih kecil, hanya 33 jiwa per Km2. Kecamatan yang paling padat adalah Kecamatan Malili dengan Jumlah penduduk 32.112 Jiwa. Sedangkan Kecamatan yang paling rendah jumlah penduduk adalah kecamatan Kalaena 11.205 jiwa.
            Secara umum jumlah penduduk laki-laki di kabupaten Luwu Timur lebih besar dibandingkan perempuan. Hal ini terlihat dengan rasio jenis kelmain (sex ratio) penduduk Luwu Timur sebesar 107.41 yang artinya bahwa setiap 100 Perempuan di Luwu Timur terdapat 107 Laki-laki.
Berdasarkan komposisi kelompok umur mengindikasikan bahwa penduduk laki-laki dan perempuan terbanyak berada di Kelompok umur 5-9 tahun. Dan distribusinya menunjukkan bahwa 36% penduduk Luwu Timur berusia muda (umur 0-14 tahun), 60% berusia produktif (15-64 tahun) dan 4 % usia tua (65 tahun ke atas). Sehingga diperoleh rasio ketergantungan penduduk Luwu Timur 150,81, yang artinya setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 150 penduduk usia non produktif.Kabupaten Luwu Timur merupakan salah satu daerah penempatan Transmigrasi di Propinsi Sulawesi Selatan. Ada empat UPT di Kabupaten Luwu Timur diantaranya adalah UPT Malili SP I (425 KK) dan SP II (400 KK) dan UPT Mahalona SP (330 KK) dan SP II (100 KK). Para Transmigran yang ada di ke empat UPT tersebut berasal dari bebrapa daerah antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, NTB, Bali, Ambon, Poso, maupun Timor Timur.
2.2       Potensi Daerah di Luwu Timur
Pariwisata bahari
Danau Matano terletak di pinggiran Sorowako, luasnya mencapai 8.218, 21 Ha dan merupakan salah satu danau terdalam mencapai 550 meter. Sumber mata air danau berasal dari sebuah kolam berukuran 8 x 12 m di desa Matano. Beberapa tepian danau, kini dijadikan lokasi berekreasi seperti Pantai Ide, Pantai Kupu – kupu, Pantai Salonsa. Danau Matano menawarkan panorama eksotik, air yang sejuk, landscaping tepian danau tertata rapi dipenuhi rimbunan pohon-pohon besar menjadikan suasananya sangat teduh. Bagi pencinta olahraga air tidak perlu khawatir, karena sarana rekreasi di danau Matano dilengkapi berbagai fasilitas seperti Kayak, Banana Boat, Jet Ski, Kapal Pesiar, serta didukung dengan penempatan Gasebo, Bungalow, Restaurant, taman bermain untuk anak – anak dan fasilitas lengkap lainnya.
Tercatat sebagai danau air tawar terluas kedua setelah danau Toba di Sumatera Utara, Danau Towuti memberikan jasa lingkungan pada ekosistem di sekelilingnya. Salah satu danau tektonik ini masih menyimpan misteri : kedalaman permukaannya. Disini, terdapat 14 jenis ikan air tawar endemic Sulawesi Crocodylus Porosus dan Hydrosaurus Amboinensis
Di sebelah barat Malili yakni di Kecamatan Wotu dapat pula kita jumpai wisata bahari pantai Bissue, lalu bergerak ke barat lagi di Kecamatan Burau tepatnya di desa Mabonta kita disuguhi pemandangan pantai dan laut lepas teluk Bone di Pantai Lemo. Objek ini tergolong primadona dengan jumlah pengunjung yang banyak. Disini kita disuguhi jejeran lambaian nyiur dengan hamparan rumput Jepang yang menahan abrasi pantai. hamparan pasir yang panjang melandai menjadikan kegiatan wisata pantai dengan leluasa dinikmati
Satu potensi wisata yang ditawarkan di Bumi Batara Guru yakni potensi wisata bawah laut yakni di gugusan sekitar Pulau Bulu’ Poloe. Keindahan aneka terumbu karang dan biota lautnya tidak kalah dengan wisata bawah laut di tempat lain. Biota di Bawah laut di sekitar Pulau Bulu’ Poloe yang belum tereksploitasi mengajak kita untuk berkenalan lebih jauh. Letak Pulau ini berada di ujung utara Teluk Bone, dibutuhkan waktu 30 menit menggunakan perahu jenis Katinting untuk dapat menikmati keindahan bawah laut pulau ini.
Pertambangan & Energi
Peradaban modern sangat tergantung pada logam, salah satunya adalah Nikel. Dengan karakteristiknya yang khas membuat nikel menjadi bahan dasar yang banyak digunakan dalam peralatan di dunia modern. Mulai dari peralatan di dapur sampai dengan komponen di pesawat terbang.
Kabupaten Luwu Timur dikenal memiliki kandungan Nikel yang cukup banyak. Penambangan Nikel di kabupaten ini dilakukan oleh PT INCO yang sekarang setelah di akuisisi berubah nama menjadi PT.Vale yang terletak di Kecamatan Nuha. Pada tahun 2010, jumlah produksi Nikel Matte mencapai 77.185,184 ton. Jumlah ini mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang mencapai 68.228,332 ton
Pada tahun 2010, berdasarkan data dari PDAM Kabupaten Luwu Timur diketahui banyaknya pelanggan PDAM sebesar 1.163 pelanggan. Jumlah ini mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 967 pelanggan. Sedangkan jumlah air yang disalurkan sebanyak 562.264 m3.
Berdasarkan data dari PT PLN Ranting Malili, pada tahun 2010 jumlah listrik yang disalurkan di Kabupaten Luwu Timur adalah sebesar 54.700.914 KWH dengan nilai produksi sebesar lebih dari 31 milyar. Sementara itu jumlah konsumen listrik mencapai 29.534 rumahtangga.
Pertanian
Lahan sawah di Kabupaten Luwu Timur seluas 20.017 Ha, terdapat 9.267 Ha yang menggunakan sistem pengairan/irigasi teknis, 7.587 Ha beririgasi setengah teknis, 210 Ha beririgasi sederhana, 1.616 Ha merupakan sawah tadah hujan, pasang surut 50 Ha dan 1.285 Ha beririgasi desa/non PL. Lahan kering di Kabupaten Luwu Timur diantaranya digunakan untuk rumah/pekarangan, tegal/kebun, ladang/huma, tanah gembala/padang rumput, rawa-rawa yang tidak ditanami, tambak, kolam/tebat, lahan sementara yang tidak diusahakan, hutan rakyat, hutan negara, perkebunan dan lainnya. Persentase penggunaan lahan kering di Kabupaten Luwu Timur yang paling banyak adalah untuk hutan Negara, yakni sebesar 36,97 persen.
Rata-rata Produktivitas padi (padi sawah dan padi ladang) di Kabupaten Luwu Timur pada tahun 2010 sebesar 59,50 Kw/Ha dengan luas panen sebesar 28.678,00 Ha dan produksi 170.620,49 ton. Kecamatan penyumbang produksi padi terbesar adalah Kecamatan Burau dengan total produksi sebesar 30.954,52 ton dan luas panen bersih sebesar4.886 Ha serta memiliki produktivitas yaitu 63,60 Kw/Ha.
Komoditi tanaman pangan yang dihasilkan Kabupaten Luwu Timur adalah jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar. Sub Sektor hortikultura mencakup tanaman sayuran, tanaman buahbuahan, tanaman biofarma dan tanaman hias. Komoditi yang disajikan pada tanaman sayuran meliputi bawang daun, cabe, tomat, petsai, kacang panjang dan bayam. Pada tahun 2010, produksi tanaman sayuran terbesar yang dihasilkan Kabupaten Luwu Tmur adalah tanaman kangkung dengan produksi 557,55 ton. Sedangkan tanaman buah-buahan yang dihasilkan meliputi mangga, durian, jeruk, pisang, pepaya, nanas, rambutan dan manggis dengan produksi terbesar adalah buah pisang sebanyak 30.314,60 ton. Tanaman obat-obatan meliputi jahe, laos, kencur, kunyit dengan produksi terbesar adalah laos/lengkuas sebanyak 2.300 kg.
2.3       Sistem Mata Pencaharian Masyarakat Tuwu Timur
Lokasi pelabuhan wotu,luwu timur yang berada dipesisir pantai membuat masyarakatnya lebih banyak atau mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani walaupun beberapa warga diantaranya sudah bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan beberapa wilayah lainnya di Sulawesi Selatan, dan berdagang/berniaga serta beberapa aktivitas ekonomi lainnya baik di dalam maupun  di luar pulau.
            Kehidupan komunitas nelayan pulau Barrang Lompo ada yang bersifat individual dan berkelompok. Nelayan yang individual adalah nelayan yang hanya memiliki perahu tradisional tanpa dilengkapi mesin bermotor, atau dalam bahasa tradisional Makassar disebut sebagai “Lepa-Lepa”, dan hanya dilengkapi alat tangkap sederhana, seperti pancing atau jaring, sedangkan nelayan yang bersifat kelompok adalah nelayan yang terdiri dari:
1.        juragan pemilik kapal/perahu (Jolloro),
2.        sawi (anak buah kapal),
3.        penyelam, khususnya pada nelayan pencari teripang, artinya nelayan kelompok ini adalah nelayan yang memiliki pola hubungan kerja yang jelas, terikat dalam satu sistem bagi hasil yang sudah disepakati sebelumnya antara pemberi modal dan pemilik perahu.
            Sebagai sebuah (organisasi) kelompok nelayan, maka pola hubungan kerja baik antara juragan perahu dan nelayan itu sendiri bukan terjadi dalam kerangka hubungan kerja antara “atasan” dan “bawahan” yang bersifat “hubungan pengabdian”, tetapi lebih bersifat “kolegialisme” dan “kekeluargaan”, sekalipun terdapat klasifikasi di antara mereka sesuai dengan spesifikasi kerja masing-masing.
Hubungan di antara mereka pun sangat longgar, terbuka, dan didasarkan atas “kesertaan secara sukarela”, tetapi dalam kasus-kasus tertentu bahkan seorang juragan pemilik perahu harus merekrut anggota nelayannya dengan “cara membeli”. Hal ini menunjukkan betapa faktor-faktor sosial dan budaya bercampur baur dengan faktor-faktor ekonomi.
Organisasi dan hubungan kerjasama di antara juragan perahu/kapal, juragan dan sawi tidaklah terlalu ketat, tidak semata-mata didasarkan pada hubungan ekonomi-bisnis, faktor-faktor yang bersifat “kekeluargaan” juga mewarnai pola relasi kerjasama di antara mereka. Artinya, siapapun orangnya, dia dapat masuk menjadi pengikut atau sawi dari seorang pemilik perahu tertentu dan/atau para pemilik perahu yang lain, secara sukarela, tanpa ada paksaan. Demikian pula, mereka pun dapat keluar dari keanggotaan suatu kelompok nelayan tersebut kapan mereka menghendaki, tanpa harus menunggu habisnya satu musim tangkap, atau apabila menurut mereka kapal/perahu yang mereka ikuti kurang memberikan hasil yang mencukupi atau memuaskan kebutuhan diri dan keluarganya.
Longgarnya ikatan keorganisasian dan hubungan kerjasama kemitraan di antara pemilik modal, juragan perahu, dan sawi tampaknya disebabkan oleh pola rekrutmen anggota yang juga tidak terlalu ketat, tidak terlalu prosedural, atau dengan berbagai persyaratan sebagaimana layaknya sebuah usaha profesional. Khusus untuk seorang juragan kapal, mengingat pentingnya peran dan tanggungjwab sebagai “pemegang komando” dalam suatu operasi penangkapan ikan, maka hanya dipersyaratkan bagi setiap nelayan yang telah memiliki banyak pengalaman di bidang penangkapan ikan di laut serta hubungan dan komunikasi dengan para nelayan yang akan direkrut.
Sistem atau pola rekrutmen keanggotaan nelayan dilakukan secara sukarela atau membeli tenaga yang terampil. Cara sukarela, adalah perekrutan seseorang dalam sebuah kelompok nelayan yang terbuka bagi siapa saja, atas dasar kesukarelaan yang bersangkutan untuk menjadi anggota kelompok nelayan. Di lain pihak, sistem membeli adalah perekrutan seseorang dalam sebuah kelompok nelayan dengan cara membeli atau membayar agar yang bersangkutan mau menjadi anggota kelompok perahunya.
Sistem membeli ini dilakukan manakala sebuah kapal/perahu tersebut pada setiap hari atau setiap musim melaut dapat dikatakan sedikit atau sama sekali tidak membawa hasil tangkapan ikan yang banyak, atau kurang memadai, sehingga untuk mendapatkan anggota seorang juragan harus membeli orang-orang yang akan dijadikan anggota perahunya. Adanya sistem pembelian anggota kelompok nelayan untuk keperluan pengoperasian perahu/kapal seperti ini, menyebabkan adanya hubungan hutang-piutang yang cukup rumit di antara mereka dan seringkali menyebabkan posisi menawar para juragan berada pada posisi lemah dibandingkan para pemilik perahu, serta merupakan lahan yang sangat potensial bagi keduanya untuk terlibat dalam hutang yang bertumpuk-tumpuk.
Bagi komunitas nelayan , terutama nelayan “Lepa-Lepa”, aktivitas menangkap dilakukan dengan alat sederhana, yaitu pancing dan jaring ukuran kecil. Namun, nelayan “Jolloro”, alat tangkapnya menggunakan racun ikan (bubuk potas) atau bom ikan. Namun kedua alat ini disembunyikan secara rapi oleh para nelayan agar terhindar dari penangkapan oleh pihak yang berwajib, sehingga hanya alat pancing, dan kompresor yang sengaja di tampakkan. Kedua cara penangkapan ikan ini harus dilakukan untuk memperoleh hasil tangkap yang melimpah sehingga mendatangkan keuntungan yang besar kepada seluruh nelayan.
Dalam kaitan bisnis penangkapan ikan di pulau Barrang Lompo, seorang pemilik perahu/kapal tidak menentukan “target minimal” yang harus dipenuhi atau dicapai oleh para juragan kapal atau awak kapal/perahunya berkenaan dengan hasil tangkapan ikannya. Kendati demikian, banyak atau sedikitnya hasil ikan sama sekali tidak berpengaruh terhadap sistem pembagian hasil ikan di antara juragan kapal/perahu dan nelayan serta anggota nelayan lain yang termasuk anggota kelompok nelayan tersebut, atau orang-orang lain yang terlibat dalam proses persiapan dan pelaksanaan operasi penangkapan ikan. Berapapun hasil perolehan ikan, sistem pembagian hasilnya tetap tidak berubah.
Dalam komunitas nelayan di luw, dikenal dua sistem pembagian hasil tangkap, didasarkan pada jenis kepemilikian perahu, yaitu nelayan tradisional dan bersifat individu/pribadi pemilik lepa-lepa dan nelayan yang tergolong modern yaitu pemilik jolloro yang dilengkapi dengan mesin dan alat tangkap modern. Namun, sejalan dengan semakin ketatnya persaingan di antara para juragan pemilik perahu, dewasa ini pemilik perahu hanya mendapat sekitar 20 persen dari hasil tangkap yang diperoleh, dan sisanya dibagi kepada seluruh sawi yang ikut dalam proses penangkapan. Khusus pada nelayan pencari teripang, perbedaan pembagian hasil hanya terjadi pada penyelam. Jika diasumsikan nelayan yang berada di atas kapal mendapat bagian Rp. 500.000, maka penyelam mendapat kurang lebih Rp. 700.000. Hal tersebut dilakukan mengingat konsekuanesi atau resiko yang harus diterima oleh penyelam terhadap keselamatan jiwanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan yang berada di atas deck kapal.
Apabila diperhatikan, dalam sistem pembagian ikan hasil tangkapan di atas, tampaknya pemilik modal dan juragan pemilik kapal umumnya mendapatkan pembagian hasil tangkap rata-rata lebih tinggi dari para sawi dan penyelam. Pada nelayan pemilik lepa-lepa yang hanya digunakan secara perseorangan, tidak ditemui sistem pembagian hasil tangkap karena hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sedangkan pada nelayan kelompok dalam perahu Jolloro, besarnya jumlah penerimaan dari seorang pemilik modal dan juragan pemilik perahu sebanding dengan investasi yang telah di keluarkan untuk pengadaan bahan keperluan melaut. Selain itu, karena dalam hal terjadi kecelakaan atau kerusakan pada perahu, jaring, dan mesin, maka seluruh biaya perawatan, perbaikan atau bahkan penggantiannya yang baru sepenuhnya menjadi tanggungan dan atas modal dari juragan pemilik perahu tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, terjadi diferensiasi sistem pembagian hasil tangkap antara pemodal, pemilik perahu, sawi yang bertugas di atas deck, dan penyelam, karena penghasilan pemilik modal dan pemilik perahu bersifat tetap sesuai dengan cara yang sudah disepakati. Oleh karena itu, pemilik modal dan pemilik perahu adalah orang yang paling diuntungkan dalam hal sistem pembagian hasil tangkap, sementara sawi dan penyelam memperoleh pendapatan yang harus disesuaikan dengan hasil tangkap yang diperoleh, dengan kata lain sesuai dengan besar kecilnya atau banyak dan sedikitnya hasil tangkap (tidak menetap).
Transaksi jual-beli ikan, teripang dan cumi-cumi oleh nelayan Pulau Barrang Lompo pada umumnya dilakukan di kota Makassar, yaitu di pelabuhan wotu atau di tempat pelelangan ikan (Lelong), tetapi kadang-kadang juga dilakukan di tengah laut, yaitu melalui kapal-kapal Pang’Es yang telah berlabuh di seputar wilayah perairan Pulau Barrang Lompo.
Secara umum, pola distribusi hasil tangkap para nelayan diperantarai oleh orang yang disebut sebagai Balolang (Papalele/Penada). Dari transaksi dengan Balolang inilah diperoleh total pendapatan hasil tangkap. Artinya, hubungan antara nelayan dengan Balolang adalah hubungan transaksional, yaitu hubungan jual beli hasil tangkap.
Dalam aktivitas jual-beli tersebut, hasil tangkap (ikan, teripang atau cumi) bagian masing-masing sawi dan juragan kapal, ada yang sebagian langsung dijual atau diserahkan kepada para Balolang atau kapal Pang’Es yang datang ke tengah laut dengan menggunakan perahu, ada pula yang dibawa ke darat untuk dijual atau diserahkan kepada para Balolang yang ada di darat, dalam hal ini Balolang yang berada di pelabuhan Paottere atau pelelangan ikan (Lelong).
Dalam banyak kasus di lapangan, hubungan jual-beli ikan antara para pemilik modal, pemilik kapal dan nelayan di satu pihak dengan para Balolang atau Pang’es sering bersifat mengikat atas dasar sukarela berdasarkan nilai tawar yang ada. Hal ini terjadi, karena para nelayan dan pemilik perahu tersebut secara rutin dan berkesinambungan mendapatkan uang pengikat dari para Balolang. Uang tersebut merupakan uang muka dari Balolang kepada para nelayan dan juragan kapal dari hasil penjualan ikan yang diterimakan kepada Balolang. Pemberian uang tersebut tujuannya adalah agar para nelayan dan juragan kapal tadi menyerahkan atau menjual ikan atau hasil tangkapnya kepada si Balolang. Menjadi kewajiban atau keharusan bagi para nelayan dan juragan kapal penerima uang tadi untuk menjual atau menyerahkan sebagian atau seluruh ikan-ikan yang menjadi bagiannya sesuai dengan kesepakatan kepada Balolang yang telah memberinya uang. Kebiasaan memberikan uang perangsang ini, dalam banyak hal telah menjadi kesepakatan di antara kedua belah pihak. Relasi dan praktik jual beli yang demikian ini telah menjadi pola umum dalam hampir setiap relasi dan jaringan perdagangan ikan yang berlaku di kalangan nelayan tradisional
Sistem pemberian penjualan hasil tangkap di bawah harga tersebut berlaku umum atau sama untuk seluruh Balolang yang ada di kawasan pelabuhan. Dalam hal ini, tidak ada permainan harga jual antara Balolang yang satu dengan Balolang yang lain, sehingga jumlah uang yang diterima oleh para nelayan dan juragan kapal dari para Balolang siapapun adalah setara, tidak ada perbedaan. Bagi Balolang, dengan adanya uang pengikat ini, selain dapat menjual harga sesuai dengan keadaan pasar dan jenis ikan yang dijual, dari hasil penjualan ikannya itu dia juga masih mendapatkan keuntungan, yang diperoleh dari selisih antara uang yang diberikan kepada para nelayan dan juragan kapal dengan uang yang sebenarnya diperoleh dari hasil penjualan hasil tangkap tadi.

2.4       Masalah Yang Dihadapi Masyarakat Di Luwu Timur
            Masalah yang dihadapi oleh masyarakat  sekarang ini adalah masalah masalah kemiskinan. Banyak masyarakat di luwu timur masih berada dibawah garis kemiskinan dikarenakan karenakan mutu pendidikan belum maju., oleh karena itu peranan pemerintah sangat diperlukan demi majunya pembangunan di luwu timur. Selain itu masyarakat masih memerlukan bantuan modal untuk mengembangkan usahanya terutama masyarakat di daerah pesisir pantai karena bantuan modal sangat dibutuhkan untuk membeli perlengkapan kapal-kapal dan alat penangkapan ikan. Pemerintah juga harus berperan dalam menetapkan harga jual ikan-ikan didaerah pelelangan ikan agar tidak menimbulkan kerugian kepada para nelayan jikaharga terlalu rendah. Selain itu pemerintah daerah juga harus memperhatikan infrastruktur daerah demi kemajuan pembangunan luwu timur kedepannya.






















BAB III
PENUTUP

III.1     Kesimpulan
1.    Keadaan sosial-budaya masyarakat luwu timur adalah kadang masih timbul konflik jika terdapat perbedaan pendapat antaer suku.
2.    Mata pencaharian utama masyarakat pulau luwu timur adalah sebagai nelayan dan petani.
3.    Masalah kependudukan yang dialami masyarakat pesisir luwu timur adalah masalah kualitas pendidikan yang masih tergolong rendah dan Sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah daerah setempat, selain itu infrastruktur perlu ditingkatkan  lagi demi kemajuan luwu timur kedepannya.
III.2     Saran
            Sejalan dengan kesimpulan ketiga, maka yang dapat disarankan kepada pihak yang bersangkutan adalah sebaiknya pemerintah luwu timur membangun sekolah-sekolah dengan staf pengajar sesuai dengan disiplin ilmunya. Selain itu pemerintah lebih memprioritaskan usaha pinjaman modal untuk masyarakat tergolong miskin demi kemajuan usahanya.










DAFTAR PUSTAKA
^ "Perpres No. 10 Tahun 2013". 2013-02-04. Diakses 2013-11-15.
^ "Lutim yang Terus Bersolek", TEMPO, No. 3746 (26 Januari-1 Februari 2009)
^ Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita menurut provinsi dan kab/kota, 2005
           Tim dosen  . 2013. Wawasan sosial budaya bahari. Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin,  Makassar. 
    Anonim. 2006.luwun timur. http//www.google.com//kabupatenlluwu timur. Diakses pada 28 Oktober 2013.




           




0 komentar:

Posting Komentar

apakah pendapat anda tentang blog ini?

RAMALAN CUACA

pendaftaran FMA

Powered byEMF HTML Contact Form

Total Tayangan Halaman

Popular Posts

Recent Posts

Social Media Sharing by CB Bloggerz

facebook

twitter